Laman

Minggu, 17 Januari 2016

Riwayat Hidup seorang pekabar Injil yang bernama John Sung



Nama besarnya John Sung sang pengabar Injil dari Tiongkok yang sangat dikenal dalam kalangan gereja-gereja di Jawa, terutama di kalangan gereja-gereja Tionghoa, termasuk juga di kota Surabaya. John Sung diberi gelar Obor Allah di Asia, karena beliau merupakan seorang penginjil yang luar biasa pada abad 20, khususnya dalam acara-acara Kebaktian Kebangunan Rohani yang dipimpinnya. John Sung juga seorang pengkhotbah yang memulai pelayannya awal tahun 1933 di propinsi Shantung. Ia pernah juga bergabung satu tim dengan Dr. Andrew Gih, pendiri Seminari Alkitab Asia Tenggara, Malang. John Sung lahir di desa Hong Chek, wilayah Hing Hwa di propinsi Fukien, Tiongkok Tenggara, pada tanggal 27 September 1901.

John merupakan anak ke-6 dari pendeta Sung, seorang hamba Tuhan di Gereja Methodist. Ia juga disebut anak pertama dari keluarga Sung, dihitung setelah pertobatan Nyonya Sung. Sebelum lahir, ia sudah diserahkan kepada Tuhan untuk dijadikan pelayan-Nya. Nama kecil yang diberikan keluarganya adalah Ju Un, artinya Kasih karunia Allah. Ayah John sebenarnya gembala sidang di Gereja Methodist Hong Chek, tetapi pada tahun 1907 ia pindah pelayanan ke Hing Hwa sebagai Wakil Kepala Sekolah pada sebuah Sekolah Alkitab Methodist di sana, waktu itu Ju Un berumur 6 tahun. Ayah Ju Un, yakni pendeta Sung sering bepergian dan waktunya cukup banyak tersita untuk pelayanan sebagai hamba Tuhan. Sementara itu Nyonya Sung harus bekerja keras di sawah untuk menambah penghasilan keluarga itu.

Timbul banyak pergumulan berat, terutama dalam bidang ekonomi, tatkala keluarga itu bertambah besar. Pendeta Sung sendiri hampir-hampir meninggalkan panggilannya sebagai hamba Tuhan, tatkala menghadapi kesulitan keuangan yang cukup berat. Namun ketika ia berlutut berdoa, Tuhan secara pribadi berbicara kepadanya. “Percayalah kepada Tuhan dengan segenap hatimu dan janganlah bersandar kepada pengertianmu sendiri” (Amsal 3:5). Kemudian ada suara yang seakan-akan berkata kepadanya “Hamba-Ku janganlah takut, engkau ada dalam tangan-KU. Aku tahu kebutuhan keluargamu.” Pengalaman inilah yang menguatkan tugas panggilannya, dan mulai saat itu ia tidak pernah lagi menoleh ke belakang atau meinggalkan penggilan Tuhan.


Karakter pendeta Sung seorang yang cepat marah, dan rupanya Ju Un mewarisi tabiat itu. Oleh sebab itu, ketika Ju Un bertambah besar, selalu terjadi kesulitan komunikasi dengan ayahnya; sebab wataknya sama keras. Tongkat bambu ayahnya sering dipakai untuk menghajar Ju Un, dan herannya Ju Un selalu mencari cara-cara yang licik untuk membalas. Suatu hari Ju Un marah, ia menubrukkan kepalanya menghantam buyung tanah, sehingga buyung itu hancur. Pada peristiwa yang lain, ia pernah melemparkan sebuah mangkuk berisi nasi panas ke wajah adiknya. Karena takut akan hukuman yang segera akan diberikan, maka Ju Un memutuskan utnuk melompat ke dalam sumur; suatu cara yang tepat di Tiongkok pada waktu itu untuk menjengkelkan keluarga. Tetapi Ju Un kalah cepat mengangkat tutup sumur itu dan akhirnya ia dihukum dengan hukuman yang cukup berat.

Suatu kali sesudah dipukuli ayahnya, ia mengintip dari celah-celah kamar kerja ayahnya. Ia heran melihat ayahnya menangis. Lalu ia berlari dan menabrak pintuk mendapatkan ayahnya. Ju Un berteriak, “Apa yang terjadi, Ayah? Ayah menghukum aku, tetapi aku tidak menangis. Mengapa justru ayah yang menangis?” Jawab ayahnya, “Ini adalah pelajaran mengenai kasih sayang Allah.” Di Sekolah Kristen, Ju Un mempunyai tingkat kecerdasan yang cukup tinggi dan luar biasa. Hal ini menyenangkan hati ayahnya. Ia mempunyai nama sindiran (ejekan), yakni si “Kepala Besar”. Pada tahun 1913, dalam sebuah Kebangunan Rohani di Hing Hwa ia mengalami pertobatan. Sejak itu, Ju Un mulai terlibat dalam pelayanan. Ia juga sering berkhotbah, sering ia digelari si “Pengkhotbah Cilik”. Ia juga sering menggantikan ayahnya untuk berkhotbah.

John juga senang membagi-bagi traktat di Alun-alun, menjual Alkitab, memimpin puji-pujian; sekalipun waktu itu ia masih sekolah lanjutan. Sifat-sifat jeleknya rupanya masih sukar ia lenyapkan, kadang-kadang emosinya suka tidak terkendalikan (ia sering marah), sombong. Hal ini yang membuat ayahnya berkesimpulan bahwa Ju Un tidak layak menjadi hamba Tuhan, lebih baik ia kuliah disiplin pendidikan yang lain saja. Karena itu, Ju Un dikirim ke Sekolah Menengah Angkatan Laut, fukien. Jarak perjalanan unuk tes masuk itu 643 km, di kota Foo Chow. Ju Un tidak pernah gentar menghadapi ujian ini, biasanya ia selalu mendapat hasil yang gemilang.

Rupanya jalan Tuhan itu lain dari apa yang dikehendaki oleh manusia. Penyakit kaki yang bengkak menyerang Ju Un, sehingga ia tidak sanggup menempuh perjalanan yang jauh untuk ujian tes masuk. Ju Un tidak peduli dengan kakinya, ia tetap berjalan sekuat tenaga, sehingga tatkala ia tiba di Foo Chow, kesehatannya sangat buruk; ia harus gagal mengikuti ujian dalam pemeriksaan kesehatan. Allah menutup pintu baginya. Suatu hari, Ju Un datang menyampaikan keinginannya kepada ayahnya, bahwa ia hendak sekolah ke luar negeri. Ayahnya, yang waktu itu sudah berumur, sangat marah, “Engkau kira kita punya uang untuk perjalananmu dan belanjamu dengan makan tinta asing dan mengisi kepalamu dengan angin? Ayahmu bukanlah Mandarin Hing Hwa, melainkan pendeta yang miskin!” Ju Un yang pada saat itu berusia 18 tahun sangat sadar bahwa tidak banyak yang dapat dipelajari di Tiongkok, apalagi dengan situasi politik saat itu. Selama kurang lebih seminggu lamanya, ia harus menjerit kepada Allah, supaya membuka jalan baginya. Beberapa hari kemudian datang surat dari Beijing yang menawarkan secara cuma-cuma untuk kuliah di Universitas Wesley di Ohio. Biaya makan dan tempat tinggal disediakan. Dengan berdasarkan informasi ini, ia datang kembali kepada ayahnya, tetapi pendeta tua Sung tetap tidak mengizinkan Ju Un pergi; sebab ia tidak ada uang untuk dipakai sebagai ongkos perjalanan. Namun berkat doa yang tekun dari Ju Un, jemaat ayahnya tergerak untuk mendukung. Melihat kenyataan ini, akhirnya Pendeta Sung mengizinkan Ju Un pergi walaupun masih setengah hati.

Tanggal 2 Maret 1920 merupakan hari bersejarah bagi Ju Un, sebab hari itu merupakan hari pemberangkatannya dan perpisahan dengan orang tuanya. Di dalam perjalanan itu, hanya dia sendiri yang Kristen, sehingga ia merasa sedih, tatkala teman-temannya berperilaku jelek. Ju Un mendaftarkan diri masuk Universitas. Beasiswa yang dia terima hanya cukup untuk membayar uang kuliahnya. Janji untuk mendapatkan uang konsumsi dan akomodasi tidak dipenuhi. Dengan uang enam dolar di kantong, ia menghadapi pergumulan iman yang dangat berat. Ia putuskan untuk mencari pekerjaan. Yang pertama dilakukan adalah membersihkan toko, dengan upah 25 sen per jam. Kemudian ia bekerja keras di sebuah hotel. Dengan cara demikian, ia mendapat upah selama musim panas untuk membiayai ongkos hidup di musim dingin.

Selama empat tahun ia berada di Amerika Serikat merupakan tahun-tahun perjuangannya melawan kemiskinan dan kesehatan. Sebagai seorang mahasiswa John Sung ternyata cukup istimewa dan luar biasa. Ia masuk jurusan Fisika dengan eksakta dan kimia sebagai pelajaran utamanya. Tahun kuliahnya yang terakhir merupakan beban berat baginya. Otak Ju Un cukup tegang. Waktu yang dia perlukan untuk belajar mulai menyita waktu yang dia perlukan untuk menelaah Alkitab dan berdoa secara pribadi. Kemunduran rohaninya cukup berpengaruh terhadap tingkah lakunya. Ia menjadi orang yang sombong dan tidak sabar. Di pabrik tempat ia bekerja, ia mencatat sebagai jam kerja, padahal ia tidak bekerja, sehingga ia mempunyai waktu untuk lebih banyak belajar. Kemudian yang cukup disayangkan, ia bekerja sama dengan mahasiswa yang lain menipu dalam ujian.

Tahun 1923, ia mendapat ijazah B.A dengan penghormatan tertinggi. Ia juga terpilih menjadi anggota perkumpulan yang sangat eksklusif, yang hanya terbuka bagi sarjana terkemuka saja. Ia menjadi tersohor, banyak tawaran untuknya, mulai dari kedudukan tertinggi sampai gaji yang besar. Namun, dalam hati sanubarinya tidak ada damai sejahtera. Pada musim gugur, ia masuk Universitas Negeri di Ohio, yang mempunyai lebih 10.000 orang mahasiswa. Tetapi di sana kehidupan rohaninya semakin mundur, sebab kegiatan organisasinya cukup banyak, misalnya kampanye melawan diskriminasi rasial. Walaupun ia cukup sibuk, tetapi dalam kuliahnya ia tetap nomor satu. Dalam waktu sembilan bulan, ia telah meraih ijazah Sainsnya. Pemerintah Tiongkok mulai mencurahkan perhatian kepadanya dan memberinya beasiswa. Pemikirannya dapat terfokus pada pendidikan, sehingga ia berhasil meraih gelar Ph.D.-nya dalam jangka waktu satu tahun.

Tanggal 10 Februari 1926, Dr. John Sung, M.Sc, Ph.D. telah memutuskan untuk menjadi hamba Tuhan dan ia telah mendaftarkan diri di Union Theological Seminary. Tanggal 4 Oktober 1926, John Sung kembali ke Tiongkok. Pada waktu kapal hendak merapat di dermaga pelabuhan Shang Hai, John Sung membuang ijazah sarjananya serta tanda-tanda penghargaan yang diperolehnya di Amerika Serikat ke dalam laut, kecuali ijazah doktornya untuk diperlihatkan dan menyenangkan hati ayahnya. Ia menganggap bahwa penghargaan-penghargaan dan ijazahnya dapat mengoda dia meninggalkan pekerjaannya sebagai penginjil. Kemajuan kerohaniannya semakin terlihat, Sung menanggalkan semua kemuliaan dunia untuk mendapatkan yang lebih berharga, yakni kemuliaan Allah. Tahun 1927, John Sung mulai mengadakan Kebangunan Rohani di Hing Hwa.

Perubahan-perubahan yang terjadi dalam diri John Sung sangat mengagetkan ayah dan ibunya. Tawaran pekerjaan dari pemerintah Tiongkok ditolaknya. Ia mengadakan perjalanan keliling untuk penginjilan di seluruh Tiongkok (Hing Hwa: 1927-1930; Foo Chow, Shang Hai, 1930; Nan Chang, Tiongkok Utara, Mancuria: 1931; Tiongkok Selatan: 1923; dan Tiongkok Utara lagi: 1933-1934). John Sung mendapat karunia penyembuhan dari Tuhan, ia selalu mendoakan orang-orang yang sakit, mujizat terjadi, banyak yang disembuhkan oleh Tuhan. John Sung mengutip beberapa ayat Alkitab atau berkata “Dengan Nama Tuhan Yesus”.

John Sung sadar bahwa dengan cara ini, orang-orang yang disembuhkan nantinya akan salah pengertian, mengaggapnya sebagai dukun. Namun, ia selalu memberi penjelasan, bahwa yang menyembuhkan mereka adalah Tuhan. Memang tidak semua orang yang didoakan John Sung mengalami kesembuhan, tetapi itu tidak menjadi soal, baginya yang terpenting jiwa orang tersebut diselamatkan; kesembuhan jasmani sifatnya hanya sementara saja. Undangan yang pertama kali diterima oleh John Sung untuk melayani di luar negeri datangnya dari negara Philipina, yakni di kota Manila. Seperti biasanya, khotbah Dr. Sung berbicara sekitar dosa, penyesalan, kelahiran kembali dan masalah kesucian hidup. Kutukannya terhadap dosa jelas dan sangat gamblang, tanpa ada rasa takut. Kadangkala ia menuding ke arah seorang pendeta di tengah pertemuan itu dan berteriak, “Hatimu bergelimangan dosa.” Dan tudingannya selalu tepat. Salah seorang yang datang ke pertemuan yang diadakan di Manila itu ialah Konsul Jendral Tiongkok, yang hidup risau dan penuh dosa. Ia dibujuk menghadiri rangkaian pertemuan itu oleh calon istrinya, tetapi ia tidak bertobat. Di sana, ia meneruskan hidupnya yang jahat itu, tetapi Tuhan mengirim John Sung ke sana juga.

Melalui pelayanan penginjilan safari ini, Konsul itu berobat dan sungguh-sungguh lahir kembali. Di kemudian hari ia menjadi Kepala Sekolah Alkitab di Pulau Jawa. Sebelum John Sung kembali ke Tiongkok, ia sempat berkunjung ke Cebu, sebuah pulau yang terletak di gugusan kepulauan Filipina. Di Cebu, seorang wanita yang telah bertekad tidak akan memandang sorotan mata Dr. John Sung, sebab dia takut terpengaruh olehnya. Seperti biasanya, Dr. Sung berkotbah penuh semangat, sehingga pakaiannya basah penuh keringat. Tetapi perempuan itu melihat sesuatu yang mengherankan, tatkala seorang redaktur surat kabar disembuhkan seketika. Redaktur yang tadinya bungkuk, menjadi tegak berdiri berkat doa John Sung. Di kemudian hari, redaktur ini terjun aktif dalam pelayanan penginjilan; sementara perempuan itu menjadi anggota Majelis Gereja Cebu. Dari pulau Cebu, ia ke Singapura, di sana ia berkhotbah sebanyak 40 kali dalam 14 hari. Sejumlah 1.300 orang bertobat dan 111 regu penginjil dibentuk dengan 503 orang anggotanya. Lebih dari 80 orang pemuda menyerahkan diri secara “fulltime” menjadi hamba Tuhan.

Demikianlah pelayanan Dr. Sung yang membawa hampir 5.000 orang bertobat. Dari Singapura, kemudian John Sung kembali ke Tiongkok dan menjalankan misi penginjilan keliling dengan hasil yang cukup memuaskan. Antara tahun 1938-1939, ia mengadakan penginjilan ke Muangthai dan Serawak. Akhir tahun 1938, Dr. Sung mengadakan serangkaian-serangkaian perjalanan penginjilan ke Indonesia atas undangan jemaat-jemaat Tionghoa di Surabaya. Kesempatan itu dipergunakan sebaik-baiknya untuk memberitakan Injil di beberapa kota besar di Indonesia. Di Surabaya tatkala diadakan pertemuan, walaupun pada hari-hari kerja; pengunjungnya tetap penuh sesak. Dr. Sung tampil dengan sosok tubuh yang kurus tidak memberi kesan apa-apa. Ia mengenakan baju putih Tiongjoa yang sederhana dan rambutnya jatuh menutupi dahinya. Di Surabaya, Dr. Sung didampingi dua penerjemah, yakni yang menerjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan bahasa Jawa. Dari Surabaya, beliau melanjutkan perjalanan ke Madiun, Solo, Jakarta, Bogor, Cirebon, Semarang, Magelang, Purworejo, Yogyakarta dan kembali ke Solo; kemudian masuk lagi ke Surabaya. Selain itu, ia juga masuk ke Makasar (Ujung Pandang) dan Ambon. Dr. Sung berada di Indonesia kurang lebih 3 bulan. Pekerjaannya cukup melelahkan, sakitnya mulai kambuh (TBC, pinggul dan jantung lemah). Peranan John Sung bagi jemaat-jemaat Tionghoa di pulau Jawa sangat besar. Ia berhasil membakar semangat orang-orang Tionghoa, baik yang belum maupun yang sudah percaya; menjadi percaya dan lebih semangat melayani. Di Ambon, telah berhasil dibangun sebuah jemaat Tionghoa, hasil pekerjaan John Sung. Jemaat tersebut diberi nama Gereja Kristen Tionghoa (Tiong Hoa Kie Tok Kauw Hwee).

John Sung adalah seorang pengkhotbah yang bersemangat, kadang-kadang ia turun dari mimbar dan berdiri di tengah-tengah hadirin sambil menunjuk dengan jarinya ke muka seseorang pendengarnya sambil berkhotbah. Kotbahnya sungguh menusuk perasaan, sehingga dengan spontan banyak pendengarnya yang bertobat dan menerima Yesus sebagai Juruselamat. Di dalam kesibukan pelayanan John Sung, ia masih sempat menulis buku yang diberi judul Alegori-alegori (cerita-cerita kiasan). Dalam buku itu, ia merangkaikan cerita untuk setiap kitab dalam gaya bahasa kiasan. Pokok pikirannya berisi tema tentang gereja dan pekerja gereja. Bagaimana membangun sebuah jemaat? Bagaimana seterusnya memimpin jemaat itu, khususnya dalam bidang kerohaniannya? Pekerja-pekerja model apa yang diperlukan Allah untuk mengumpulkan panenNya? Watak dan hidup seorang hamba Tuhan. Ia mendesak semua orang mengenai Allah dan menuruti sepenuhnya kehendak Allah. Salib merupakan pusat pemberitaannya. Di kota Shang Hai, John Sung muncul untuk kali yang terakhir. Orang-orang berjubel-jubel, dan sementara menunggu pengkhotbah mereka asyik bercakap-cakap. Dr. Sung muncul, tiba-tiba dengan tinjunya ia memukul meja sekeras-kerasnya sambil berteriak, “Apakah ini gedung untuk berkomedi atau untuk kebaktian?” Semua terdiam, lalu ia mulai berkhotbah. Alkitab yang dikutip hari itu adalah dari 1 Tesalonika 5:2, “Hari Tuhan datang seperti pencuri waktu malam.” Tubuh John Sung makin lemah; hasil pemeriksaan dokter menunjukkan bahwa ia menderita kanker dan TBC.

Dalam keadaan sakit, ia mendapat kabar Yosua anaknya meninggal di Shang Hai. Kelihatannya hal ini menjadi pukulan yang sangat berat. Namun Dr. Sung telah mengenal Tuhan begitu baik, oleh sebab itu ia menerima kejadian itu dengan pasrah, imannya tidak goyah. Tahun 1943 merupakan tahun yang paling sulit bagi John Sung. 16 Agustus 1943, John Sung begitu jelas mengetahui bahwa ia akan meninggal. Malam itu pula ia tidak sadar, tetapi besoknya ia pulih kembali dan sempat menyanyikan tiga lagu rohani. Tidak lama kemudian tubuhnya kembali lemah. Pukul 07.07 waktu setempat, tepatnya tanggal 18 Agustus 1943, dalam usia 42 tahun; John Sung dipanggil Tuhan saat sahabat-sahabatnya berdoa di samping tempat tidurnya. Penguburan almarhum John Sung dilakukan tanggal 22 Agustus 1943. “Berbahagialah orang-orang yang mati dalam Tuhan, sejak sekarang ini.” “Sungguh,” kata Roh, “supaya mereka boleh beristirahat dari jerih lelah mereka, karena segala perbuatan mereka menyertai mereka.” Hadir pada waktu itu semua utusan dari semua bagian negeri. Pemberi amanat firman Tuhan adalah Pendeta Wang Ming Tao dari Beijing. Beliau mengutip Yeremia 1:4-9. Pendeta Wang mengatakan John Sung dipanggil seperti Yeremia untuk menebus dosa gereja dan masyarakat, untuk menjadi seperti “Tiang Besi” tidak takut kepada manusia dan setia sampai mati. Apa yang bisa kita pelajari dari kehidupan Dr John Sung ini? Kehidupan yang bernilai ganda, obor Tuhan dari Asia.



“Masih banyak orang yang lebih baik dari aku!

Untuk pembelajaran Alkitab, aku tidak sebanding dengan Watchman Nee! Sebagai pengkotbah, aku tidak sebanding dengan Wang Ming-tao! Sebagai penulis, aku tidak dapat dibandingkan dengan Marcus Cheng! Sebagai musisi, aku jauh di bawah Timothy Chao. Aku tidak memiliki kesabatan seperti Alfred Chow! Sebagai figure public, aku tidak memiliki sopan santun seperti Andrew Gih.

Hanya ada satu hal di mana aku melebihi mereka: yaitu dalam melayani Tuhan dalam setiap kekuatanku”


(John Sung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar